Oleh : Askolani Nasution
( Pemerhati Sosial dan Budayawan)
Tanah itu dihormati sebagai warisan leluhur, itulah “ompu niba na jumolo sundut. Dalam kesadaran itu, tanah dimuliakan.
Memuliakan tanah dengan cara menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Bukan untuk dijual tanahnya. Hasil tanah itu yang dijual. Terutama untuk menyekolahkan anak. Bukan bermewah-mewah. Untuk hanya sebagian kecil.
Kata Willem Iskander dalam Si Bulus-bulus Si Rumbuk, “U gadis mai deba, anso adong panabusi pusuk dohot sira”. Selebihnya buat biaya sekolah dan “parabitonmu”.
Sawah dimuliakan. Karena itu turun ke sawah bersama-sama. Dimulai dengan “mangaligi ari na denggan”, lalu pemerintahan huta mengumumkannya untuk waktu turun ke sawah. Diumumkan dari gang ke gang sambil memukul ogung.
Ada 25 langkah proses menanam padi di Mandailing. Mulai dari itu tadi, mangaligi ari na denggan, palubung ulu bondar, mangarabi duru, mambaen parsamean, sampai kepada manyabi. Dalam setiap prosesi itu ada nilai-nilai yang dijaga. Ada ritual tertentu. Termasuk budaya “marsialap ari” dan “manyaraya”
Marsialap ari bentuk gotong royong khas Mandailing. Tidak sama dengan konsep gotong-royong yang kita adopsi dari budaya jawa. Manyaraya juga bentuk pesta panen yang hanya ada dalam kebudayaan Mandailing. Tujiannya untuk “parosu na saparompuan”.
Setelah panen, padi di simpan dalam opuk. Opuk itu sistem ketahanan pangan sekaligus sebagai distribusi sosial. Opuk digunakan untuk cadangan beras sampai musim tanam berikutnya. Gabah dalam opuk juga digunakan untuk bantuan beras bagi keluarga yang kekurangan beras. Karena itu muncul budaya “marsali”. Gabah dipinjam dan dikembalikan pada panen berikutnya.
Raja bahkan memilki opuk besar. Tujuannya untuk membantu orang yang kekurangan makan di masa “aleon”, masa ketika beberapa kali musim tanam gagal panen.
Beberapa karung padi sengaja di pajang di ruang keluarga. Gunanya kalau datang tamu, mereka merasa nyaman karena tuan rumah masih punya cadangan beras. Itu makna budayanya.
Dulu memang masih ada tradisi “mangulangi”, berkunjung dan beberapa hari di rumah keliarga di luar huta. Biasanya setelah selesai “manyuan” atau “marbabo”. Atau setelah selesai panen sambil membawa beras untuk “padaion eme baru”.
Mangulangi itu sambil membawa jajanan “Sasagun”. Juga dari tepung beras. Orang Mandailing pantang ke rumah orang bertamu tanpa membawa oleh-oleh atau silua. Sebaik-baik silua adalah nasi dan gulai. Nah, karena perjalanan beberapa jam, bisa basi selama di perjalanan. Maka muncullah kuliner sasagun yang tidak basi lebih dari seminggu. Unsurnya sama dengan bubur cacak juga: tepung beras, kelapa, dan gula. Bedanya sasagun digonseng.
Di antara dua musim tanam, pemilik sawah menanam jagung atau sorgun. Bahkan sorgun atau gandum terus menerus di tanam di “gadu ni saba”. Tujuannya untuk ketahanan pangan juga. Jagung hanya ditanam karena menunggu musim tanam saja. Sebab, dulu turun ke sawah paling banyak dua kali setahun.
Bahkan singkoru juga di tanam. Bisa dimasak sebagai bubur. Dan kandungan tepungnya melebihi beras.
Selain tanaman beras untuk makan, beberapa bagian sawah juga ditanami beras pulut. Karena pulut, selain untuk kebutuhan lemang dan jajanan lain, juga bagian dari proses adat saat pabagas boru.
Bersawah tidak sebatas mata pencaharian saja. Karena itu ada pola pemukiman di Mandailing melingkar di lahan persawahan. Banjar yang menjadi cikal bakal huta biasanya lahir karena beberapa keluarga menghuni kawasan sawah atau ladang. Ladang juga ditanami padi sebagai sumber pangan. Bukan hanya sawah dengan sistem irigasi.
Begitu pentingnya irigasi, ulu bondar, bondar, dan saluran pembuangan tidak boleh diubah. Sekalipun tanah milik personal, bondar sawah milik komunual yang sudah diatur ratusan tahun. Dan hukum kolonial Belanda mengakui itu. Dianggap bagian dari hukum adat. Jadi, misalnya, kalaupun saya mengubah lahan sawah saya menjadi kebun, saluran air tidak boleh diubah. Itu yang menjamin tidak ada lahan terlantar karena kekurangan air. Belanda saja, penjajah, menghormatinya. Masa negara tidak.
Oya, Anda tahu mengapa Jepang masuk ke Mandailing? Karena Mandailing surplus beras. Mereka butuh itu untuk Perang Dunia II.
Panjang kalau diulas lagi😆 Nilai-nilai ketahan pangan khas Mandailing ini yang mestinya kita adopsi dan pemerintah hadir di dalamnya.